Bosnia
Utara, 1995.
Hari hampir
pagi. Rembulan masih terlihat bulat memutih diatas sana. Tapi gelap selalu aku temui sepanjang
perjalanan di Travnik ini bersama rombongan mujahidin. Pasukan tengah
dikomandoi oleh Abu Ahmad Al Jundi.
Lelaki berjambang lebat itu sering kujumpai kala beliau berjaga di garis
depan (ribath) sejak setahun lalu hingga kini tergabung sebagai amir (komandan)
dalam Operasi Black Lion dan Badr Operation.
Tubuh kami
berguncang-guncang. Jalanan terjal. Penuh batu-batu besar. Dikanan kiri hutan
rimbun penuh semak. Mobil van terus melaju. Sementara Abu Ahmad tampak
berkomunikasi dengan salah satu anggota pasukan lewat radio. Dari yang kudengar,
Pegunungan Vlasic yang akan kami tuju sekarang merupakan daerah strategis
tentara Serbia.
Pada perang dunia II pasukan Hitller berusaha merebut selama kurun waktu lima tahun tetapi terus
saja gagal. Dan kini kami berangkat setelah mengirim seorang mujahidin dari Qatar
untuk melakukan misi reconnaissance (pengintaian) tujuh bulan sebelumnya.
“ Jurnalis, ya bunayya ? “. (ya bunayya: panggilan
kasih sayang kepada anak lelaki).
Seorang tua
berjenggot panjang disebelah menatap kamera, dan video yang menggantung di
dekat senapan Kalashnikov-ku.
“ Fathir
Ramadhani Ali “ Aku mengulurkan tangan. Lelaki itu menjabat. Saling tersenyum.
“ Wartawan dari
sebuah situs Islam Dzarwatus-sanam
Indonesia. “
Ia juga
memperkenalkan namanya, Abu Imam Sa’id Shidiq. Lelaki itu dari London, seorang veteran
jihad Afgan setelah menjadi muallaf. Dengan bekal latihan militer angkatan
darat selama enam tahun, Abu Imam lalu bertolak ke Bosnia. Pemandangan seperti ini sudah
sering kutemui. Para pemuda ikhlas dari
seluruh penjuru dunia datang untuk bertempur dan mati membela orang-orang yang
tidak dikenalinya. Ya, kerinduan menjemput syahid. Bukan hanya dari kalangan
orang biasa, tetapi juga orang-orang yang rela melepas segala bentuk atribut
kebangsawanannya untuk terjun langsung kesini.
Mobil masih melaju. Mesin tuanya merayap bagai
semut. Pelan. Ban mau tak mau harus melindas bongkahan batu-batu terjal. Ini
hari ke 25 bulan ramadhan. Tapi tak ada satupun dari mereka yang membatalkan
puasa. Wajah-wajah di kanan kiriku tampak berbinar kala menceritakan beberapa
kawan yang mendahului syahid. Bahkan mereka iri. Tiba-tiba disini aku merasa
sangat kerdil. Yah, banyak orang-orang hebat disekelilingku. Dikening-kening
menghitam yang lama sujud sholat malamnya. Ditubuh-tubuh yang tegak meski perut
selalu disumpal puasa. Dibibir-bibir yang selalu basah, bertilawah, dzikir. Dan
dimata-mata yang paling jujur dan takut kepada Tuhannya. Membuatku malu dan
kecil.
Sebagai ganti, aku
ingin mendapatkan gambar perang terbaik, mengedit, lalu mengirimkannya kembali
kepada kaum muslimin yang tidak tahu sedikitpun tentang jihad. Beberapa
tayangan yang diedarkan Negara barat hanya menonjolkan sisi kekejamannya saja,
padahal tidak demikian! Kaum muslimin tidak akan marah jika keadilannya tidak
diinjak-injak.. Bagaimana mereka tidak berperang, jika dewan-dewan yang mengaku
pengadilan tertinggi negara-negara didunia malah menutup mata terhadap
pembantaian besar-besaran yang terjadi di depan mata mereka! Bahkan PBB dan
Negara-negara barat bersikeras mempertahankan embargo senjata pada muslim Bosnia!
Setidaknya aku sudah
berusaha. Bersama seorang kawan kami datang kesini. Hanya saja karena satelit
yang tidak memadai, terkadang hasil rekaman belum bisa terkirim kepada tim
redaksi. Ah, situs yang kerap kali menuai ancaman dari Scotland Yard (FBI-nya
Inggris) untuk menangkapi para pengelola. Tapi biar bagaimanapun
Dzarwatus-sanam harus tetap berdiri. Apapun resikonya. Harga mati!
Matahari sepenggalah
diufuk timur. Medan terlalu sulit didaki. Gunung-gunung.
Hutan-hutan. Jurang. Perbukitan. Seakan kami membelah hutan rimba. Dan harus
tetap waspada jika sewaktu-waktu ranjau musuh melintang tajam. Aku menghela
nafas.
“ Sepertinya aku baru melihat engkau saudaraku
? “ tanya Abu Imam.
“ Saya baru tiba
kemarin malam dari desa Bualachuba. Ikut operasi Singa Hitam “
“ Amir-nya ? “
“ Mahmud Dawam
Al Husein “
Dahi lelaki itu
berkerut. Menopang dagu. Alis tebalnya menyatu. Seperti mengingat-ingat
sesuatu.
“ Ya, ya, aku
pernah mendengar namanya yang konon bak gadis pingitan karena begitu pemalunya,
hahaha. Tak berani menatap muka teman duduk sendiri. Tak berani mengambil makan
meski dia sangat lapar sebelum dipersilahkan makan. Tapi saat menjaga ribath,
ia seperti singa kehausan cinta Tuhannya. Mahmud selalu lebih dulu mencapai
bunker musuh!“
Subhanalloh. Aku
berdecak kagum.
“ Hanya sendiri
saudaraku ? “
“ Ada kawan saya. Muhammad
Naufal. Kebetulan sedang bertugas ikut operasi Miracle di Zepce. “
“ Masih disana ?
“
“ Entahlah.
Terakhir bertemu ketika sama-sama ikut operasi badar. “
“ Kapan kembali
ke negaramu ? “
“ Kami hanya
diberi tugas sampai minggu depan. Syawal insya Alloh sudah harus kembali ke Indonesia “
“ Semoga Alloh
memberikan barokah yang banyak wahai anakku “
Aku tersenyum
mengamini.
Lelaki itu mengusap-usap
rambutku. Van berhenti. Kami melaksanakan sholat dhuha berjama’ah. Selesai.
Lalu kembali melanjutkan perjalanan. Didalam mobil ini banyak aktivitas yang
dilakukan para mujahidin itu. Mengaji. Berdzikir. Tertidur. Sementara Abu Imam
terus mengajakku berbincang-bincang. Ia tipikal orang humoris. Lebih banyak
tertawa dan ceria. Tak ada satu ketakutan akan kematian membayang di wajahnya.
Aku melirik dari belakang kaca spion. Di depan tampak sang amir terus mengontak
rekan-rekannya lewat radio. Raut muka Abu Ahmad berubah. Seberkas kesedihan.
Lalu menoleh kepada kami.
“ Baru saja ada
kabar, terjadi pembantaian muslim besar-besaran di Srebrenica. Mari doakan
saudara-saudara kita dan para mujahidin disana “
Seketika kami
semua terdiam. Tertunduk. Rasa sedih menjalar pelan. Marah. Kecewa. Aku
melihatnya jelas pada wajah-wajah disekelilingku. Selesai berdoa, tampak Abu
Imam basah matanya. Aku heran.
“ Kenapa anda,
juga mereka merasa sedih, wahai Abu Imam? “
Ia masih menyeka
airmata. Begitu juga yang lainnya.
“ Bukankah
mencari syahid itu adalah impian dari setiap mujahidin ? “
Abu Imam
memandangku dengan mata merah berkilat. Mendengus besar.
“ Kami bahagia
atas itu wahai anakku. Tapi ketahuilah. Hati kami sakit. Terpukul. Bingung. Kenapa
kebiadaban itu bisa terjadi! padahal Srebrenica dijaga ketat oleh pasukan
UNPROFOR PBB!!“
Aku terlonjak
kaget. Masya Alloh!
Abu Ahmad menginstruksikan
bahwa perjalanan tetap dilanjutkan karena bala bantuan pasukan operasi Miracle
sedang menuju kesana. Bunker-bunker di Vlasic harus tetap dijaga. Dengan
perasaan kalut, kami tetap pada rencana semula. Tiga kilometer lagi. Tiba-tiba
suara letusan senapan membabi buta memecah sunyi. Tampak pasukan Kroasia
menembaki kami dari atas. Gaduh. Senjata kami kerahkan cepat tapi serangan yang
mendadak membuat kami kewalahan. Aku beringsut turun mengendap menuju rimbunan
semak. Sementara sebagian mujahidin itu gugur ditempat. Untung kamera dan
videoku masih bisa diselamatkan.
Hanya sebelas
orang yang selamat. Tiba-tiba perih menjalar dikaki. Celanaku basah darah.
Sebuah timah panas bersarang didalamnya. Darah terus menetes-netes. Abu Ahmad
yang juga selamat mendekat kepadaku lalu mengikat luka tersebut dengan
sorbannya. Aku terharu. Kami tetap melanjutkan perjalanan setelah mengubur para
jenasah. Hanya saja, wajah Abu Imam terus membekas dalam benak. Senyum.
Candanya. Hingga perkenalan kami yang singkat sebelum akhirnya ia mendahului
untuk berjumpa sang bidadari diatas sana.
Ah, kenapa harus merasa kehilangan. Bukankah pertemuan-perpisahan,
kehidupan-kematian, cepat-lambat adalah hal yang fitrah. Semoga Alloh
memuliakanmu saudaraku…
Sore itu kami
tiba di pegunungan Vlasic. Berjalan pelan. Sembunyi disemak-semak. Bertemu
dengan rekan kami pasukan lain disana. Merancang strategi. Dan tepat malam
nanti kami akan bergerak menuju bunker musuh dan mengambil alih tank. Salju
turun sepanjang hari. Hingga menjelang
petang, kami bersiap untuk berbuka. Makanan bekal hanya roti yang hampir tak
berasa apa-apa.
Tak ada api
unggun untuk sekedar penghangat badan. Itu semua untuk menghindari mata-mata
musuh yang bisa mengenali dimana arah cahaya. Malam gulita. Hanya rembulan
benderang sahabat pengusir gelap. Dua buah tenda didirikan. Kami berkumpul
hendak berbuka. Tapi rasa sakit teramat sangat membuatku hampir pingsan.
Bisa-bisa peluru itu membuat busuk kaki kiriku. Aku ridho syahid, tapi jika
diamputasi ? Ah, demi Tuhan aku tak sanggup melihatnya.
Seorang kawan
membagikan roti jatah makan. Aku mengambilnya lalu duduk terpisah dibelakang
tenda sambil memandang apa saja yang ada dibawah pegunungan. Terlihat cahaya
putih mengerjap-kerjap dari kejauhan sana.
Sebentar berubah kobaran api merah berpijar. Entah daerah manalagi yang
diguncang ledakan. Aku melenguh panjang. Duduk di semak. Suara jangkrik dan
hewan malam menggelitik telinga yang rindu kampung kecil di Jogja. Aku sudah
berjanji kepada ibu syawal nanti merayakan lebaran di rumah. Tiba-tiba rasa
rindu mendekap erat. Lebih dalam. Dan hampir membuatku terisak. Lebih menyayat
sakitnya dari timah panas. Tapi lagi-lagi terasa nyeri dikaki. Aku menggigit bibir
bawah hingga berdarah-darah.
“ Sudah hampir
Isya’, kenapa roti belum kau makan wahai saudaraku “
Seseorang
menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh. Abu Ahmad! Aku menggeser tempat.
Ia ikut duduk.
“ Tadi sebelum
sholat magrib saya sempat minum, tapi
rasanya belum lapar untuk makan “
“ Aku tahu rasa
sakitmu itu penyebabnya. Tapi rumah sakit jauh dari sini. Itu pun sudah tak
berpenghuni. Sabarlah wahai saudaraku. Harapkan pahala Alloh. Lupakan rasa
sakit itu sebagai penggugur dosamu “
Aku mengangguk.
Intropeksi diri. Benar juga. Bukankah sakit bentuk rahmat Alloh yang lain.
Astagfirullah…
“Kuatkanlah
dirimu saudaraku. Sebentar lagi pertempuran menanti kita. Setelah sholat kita
harus sudah bersiap “
“ Syukron jazakallahu khoiron khatsir “
Abu Ahmad
menepuk lagi pundakku. Ia hampir beranjak pergi ketika kupanggil kembali.
“ Wahai amir… “
“ Ya ? “
“ Saya boleh
minta tolong ? “
“ Insya Alloh
selama masih bisa untuk dibantu akan aku bantu “
“ Saya titipkan
rekaman ini jika nanti Alloh menyeru saya untuk kembali. Tolong simpan
baik-baik. Jika perang sudah usai, saya mohon kirimkanlah kepada karib saya
Muhammad Naufal yang juga berada di daerah ini. Tapi jika tidak ketemu juga,
demi cinta anda kepada jihad, saya mohon serahkan kepada rekan saya di Indonesia.
Disitus Dzarwatus-sanam “
“ Insya Alloh,
jika saya masih diberi kesempatan melaksanakan amanah itu. “
Abu Ahmad
tersenyum lalu bergabung kembali dengan rekan-rekannya di depan. Aku lega.
Seusai sholat
kami berarak menuju base-camp musuh. Tapi sebelum berangkat, Abu Ahmad mendapat
pesan lewat radio jika seorang jurnalis tewas dalam ledakan beberapa jam lalu.
Perasaanku carut marut. Harap-harap cemas. Abu Ahmad mendekat.
“ Temanmu
Muhammad Naufal, benar ? “
Aku mengangguk.
Hatiku riuh bergemuruh. Apalagi melihat iba pada raut lelaki itu.
“ Ia telah
bertemu syahid ketika meliput serangan di Kosovo “
Diam. Mendadak
tubuhku lemas. Beberapa rekan memegangi bahuku. Tenggorokanku tercekat pilu. Sedan tertahan. Hingga
gerimis turun dari kelopak mata kala salju tipis menerpa mantelku.
“ Tabahkan
hatimu, wahai saudaraku. Insya Alloh dia syahid “
Aku mengangguk.
Meski hatiku kalut. Meski sendiku terasa meluruh. Ledakan ? ya, tak salah lagi,
kobaran api yang berpijar merah tadi di Kosovo! Dan cahaya putih yang melesat..
Ah, mungkinkah itu ruh-ruh para syuhada yang langsung diangkat Tuhannya ? juga
ruh Naufal karibku ? semoga Alloh menempatkanmu disisi Nya sahabatku…
Kesedihan itu
dipaksa untuk terpendam karena kami sedang bergerak. Kami mengendap,
menyelinap. Diantara gelap dan rimbunan semak sangat membantu untuk berlari
menuju bunker musuh. Dua orang sudah mendahului kami kesana. Abu Ahmad memberi
tambahan senapan PK kepadaku. Aku menitipkan rekaman-rekaman sebelumnya kepada
lelaki itu. Dengan tertatih aku menyusul kedua mujahidin tadi. Musuh tak ada
yang tahu ketika kuletakkan sebuah kamera dan video disebelahnya.
Mujahidin
lainnya maju melalui jalan akses yang ada. Salah seorang mujahidin membuka
serangan terhadap bunker tersebut dari salah satu sisi RPG (granat berpeluncur
roket). Abu Ahmad mengambil posisi dan menunggu saat-saat untuk menyerang. Tapi
orang-orang Serbia
mengetahui sepertinya kedatangan kami. Lalu mereka mulai menembaki. Kami semua
panik karena pasukan musuh lebih siap. Sedangkan pikiranku sendiri
terus-menerus kepada Naufal.
Aku mengikuti
kedua mujahidin yang berlari ke depan tanpa pernah kupikirkan resikonya. Mati
atau hidup sudah pasrah. Bunyi letusan ada dimana-mana. Menderu. Bising. Aku
sempat melihat para mujahidin lain tubuhnya ambruk ditembaki moncong senapan.
Juga serpihan daging merah yang melayang-layang terkena granat. Semak yang memutih
salju berubah warna hitam-merah darah. Peluru berseliweran dimana-mana. Aku
juga melihat Abu Ahmad tampak kesakitan dan musuh ada dibelakangnya sementara
ia tak tahu.
“ Abu Ahmad,
awas!! “
Untung saja ia
bisa mengelak. Aku berlari melintasi lapangan terbuka ingin membantunya.
Ditengah-tengah tembakan membabi buta. Malam begitu riuh. Dan hewan-hewan hutan
seolah bungkam menatap keadaan yang mencekam. Angin berhembus kencang.
“ Allahu
Akbarrrr…!! “
Aku mendengar
jelas saat Abu Ahmad berteriak lantang sambil melihatku tajam. Aku ingin sekali
menanyakan kenapa. Tapi mendadak langkahku berat. Nafasku tersengal. Rupanya
lelaki itu melihat jelas saat sebuah peluru melesat menembus ulu hatiku. Darah
berceceran. Tubuhku ambruk. Sadar atau tidak. Aku melihat Naufal, Abu Imam, dan
mujahidin lain tengah terbang dengan gadis-gadis cantik bersayap. Tiba-tiba tak
ada lagi pertempuran. Dimana-dimana hanya taman dan sungai yang mengalir penuh
warna. Tak ada jangkrik, kelelawar, maupun burung hantu disini. Hanya pipit
hijau, kupu-kupu yang terbang kian kemari.
Aku memegang
tangan Naufal. Tapi ia menolak halus.
“ Belum saatnya
saudaraku, kau masih punya hutang kepada ibumu. Bertahanlah “
Subhanalloh!
Wajahnya lebih putih, lebih bersih. Diliputi kemilau cahaya. Aku terus merengek
ingin ikut dengannya. Tapi Naufal malah pergi menjauh. Aku berteriak-teriak
memanggil namanya, ia hanya menoleh dengan mengucapkan kata-kata yang sama.
Tiba-tiba aku merasa sakit kembali. Sinar itu pun berubah menjadi kelam. Bising
deru senapan sudah tiada. Kepalaku dipangku seseorang. Abu Ahmad.
“ Kau masih
hidup saudaraku! “
Aku hanya
tersenyum dengan tubuh tak berdaya.
“ Perangnya ? “
tanyaku lemah.
“ Sudah selesai
saudaraku! Allahu akbar! Pasukan kita menang! Ketahuilah sejak engkau tertembak
banyak kejadian aneh. Tubuhmu bercahaya dan membuat musuh silau mata. Mereka
yang tak paham sebuah karohmah hanya bisa tercengang. Padahal jelas janji Alloh
bagi hambanya yang bersungguh-sungguh dijalan jihad. Seketika itu juga kami
berbalik menyerang. Alhamdulillah, kita menduduki daerah ini sekarang “
Aku tersenyum
kembali bersyukur. Benarkah apa yang dikatakan beliau. Mungkin itu setitik
cahaya yang tak sengaja terbawa dari tempat asing pertemuanku dengan Naufal tadi. Atau bisa saja, itu adalah sebagian doa ibu
agar aku memenuhi janji pulang syawal nanti hingga atas ijin Alloh melesatlah
doa dari sang ibu ? Wallahu ‘alam