Halaman

Sabtu, 24 Desember 2011

Diantara Perang


Bosnia Utara, 1995.
Hari hampir pagi. Rembulan masih terlihat bulat memutih diatas sana. Tapi gelap selalu aku temui sepanjang perjalanan di Travnik ini bersama rombongan mujahidin. Pasukan tengah dikomandoi oleh Abu Ahmad Al Jundi.  Lelaki berjambang lebat itu sering kujumpai kala beliau berjaga di garis depan (ribath) sejak setahun lalu hingga kini tergabung sebagai amir (komandan) dalam Operasi Black Lion dan Badr Operation.

Tubuh kami berguncang-guncang. Jalanan terjal. Penuh batu-batu besar. Dikanan kiri hutan rimbun penuh semak. Mobil van terus melaju. Sementara Abu Ahmad tampak berkomunikasi dengan salah satu anggota pasukan lewat radio. Dari yang kudengar, Pegunungan Vlasic yang akan kami tuju sekarang merupakan daerah strategis tentara Serbia. Pada perang dunia II pasukan Hitller berusaha merebut selama kurun waktu lima tahun tetapi terus saja gagal. Dan kini kami berangkat setelah mengirim seorang mujahidin dari Qatar untuk melakukan misi reconnaissance (pengintaian) tujuh bulan sebelumnya.

“ Jurnalis, ya bunayya ? “. (ya bunayya: panggilan kasih sayang kepada anak lelaki).
Seorang tua berjenggot panjang disebelah menatap kamera, dan video yang menggantung di dekat senapan Kalashnikov-ku.
“ Fathir Ramadhani Ali “ Aku mengulurkan tangan. Lelaki itu menjabat. Saling tersenyum.
“ Wartawan dari sebuah situs Islam Dzarwatus-sanam Indonesia. “

Ia juga memperkenalkan namanya, Abu Imam Sa’id Shidiq. Lelaki itu dari London, seorang veteran jihad Afgan setelah menjadi muallaf. Dengan bekal latihan militer angkatan darat selama enam tahun, Abu Imam lalu bertolak ke Bosnia. Pemandangan seperti ini sudah sering kutemui. Para pemuda ikhlas dari seluruh penjuru dunia datang untuk bertempur dan mati membela orang-orang yang tidak dikenalinya. Ya, kerinduan menjemput syahid. Bukan hanya dari kalangan orang biasa, tetapi juga orang-orang yang rela melepas segala bentuk atribut kebangsawanannya untuk terjun langsung kesini.

Mobil  masih melaju. Mesin tuanya merayap bagai semut. Pelan. Ban mau tak mau harus melindas bongkahan batu-batu terjal. Ini hari ke 25 bulan ramadhan. Tapi tak ada satupun dari mereka yang membatalkan puasa. Wajah-wajah di kanan kiriku tampak berbinar kala menceritakan beberapa kawan yang mendahului syahid. Bahkan mereka iri. Tiba-tiba disini aku merasa sangat kerdil. Yah, banyak orang-orang hebat disekelilingku. Dikening-kening menghitam yang lama sujud sholat malamnya. Ditubuh-tubuh yang tegak meski perut selalu disumpal puasa. Dibibir-bibir yang selalu basah, bertilawah, dzikir. Dan dimata-mata yang paling jujur dan takut kepada Tuhannya. Membuatku malu dan kecil.

Sebagai ganti, aku ingin mendapatkan gambar perang terbaik, mengedit, lalu mengirimkannya kembali kepada kaum muslimin yang tidak tahu sedikitpun tentang jihad. Beberapa tayangan yang diedarkan Negara barat hanya menonjolkan sisi kekejamannya saja, padahal tidak demikian! Kaum muslimin tidak akan marah jika keadilannya tidak diinjak-injak.. Bagaimana mereka tidak berperang, jika dewan-dewan yang mengaku pengadilan tertinggi negara-negara didunia malah menutup mata terhadap pembantaian besar-besaran yang terjadi di depan mata mereka! Bahkan PBB dan Negara-negara barat bersikeras mempertahankan embargo senjata pada muslim Bosnia!

Setidaknya aku sudah berusaha. Bersama seorang kawan kami datang kesini. Hanya saja karena satelit yang tidak memadai, terkadang hasil rekaman belum bisa terkirim kepada tim redaksi. Ah, situs yang kerap kali menuai ancaman dari Scotland Yard (FBI-nya Inggris) untuk menangkapi para pengelola. Tapi biar bagaimanapun Dzarwatus-sanam harus tetap berdiri. Apapun resikonya. Harga mati!

Matahari sepenggalah diufuk timur.  Medan terlalu sulit didaki. Gunung-gunung. Hutan-hutan. Jurang. Perbukitan. Seakan kami membelah hutan rimba. Dan harus tetap waspada jika sewaktu-waktu ranjau musuh melintang tajam. Aku menghela nafas.
 “ Sepertinya aku baru melihat engkau saudaraku ? “ tanya Abu Imam.
“ Saya baru tiba kemarin malam dari desa Bualachuba. Ikut operasi Singa Hitam “
“ Amir-nya ? “
“ Mahmud Dawam Al Husein “
Dahi lelaki itu berkerut. Menopang dagu. Alis tebalnya menyatu. Seperti mengingat-ingat sesuatu.
“ Ya, ya, aku pernah mendengar namanya yang konon bak gadis pingitan karena begitu pemalunya, hahaha. Tak berani menatap muka teman duduk sendiri. Tak berani mengambil makan meski dia sangat lapar sebelum dipersilahkan makan. Tapi saat menjaga ribath, ia seperti singa kehausan cinta Tuhannya. Mahmud selalu lebih dulu mencapai bunker musuh!“
Subhanalloh. Aku berdecak kagum.

“ Hanya sendiri saudaraku ? “
“ Ada kawan saya. Muhammad Naufal. Kebetulan sedang bertugas ikut operasi Miracle di Zepce. “
“ Masih disana ? “
“ Entahlah. Terakhir bertemu ketika sama-sama ikut operasi badar. “
“ Kapan kembali ke negaramu ? “
“ Kami hanya diberi tugas sampai minggu depan. Syawal insya Alloh sudah harus kembali ke Indonesia “
“ Semoga Alloh memberikan barokah yang banyak wahai anakku “
Aku tersenyum mengamini.

Lelaki itu mengusap-usap rambutku. Van berhenti. Kami melaksanakan sholat dhuha berjama’ah. Selesai. Lalu kembali melanjutkan perjalanan. Didalam mobil ini banyak aktivitas yang dilakukan para mujahidin itu. Mengaji. Berdzikir. Tertidur. Sementara Abu Imam terus mengajakku berbincang-bincang. Ia tipikal orang humoris. Lebih banyak tertawa dan ceria. Tak ada satu ketakutan akan kematian membayang di wajahnya. Aku melirik dari belakang kaca spion. Di depan tampak sang amir terus mengontak rekan-rekannya lewat radio. Raut muka Abu Ahmad berubah. Seberkas kesedihan. Lalu menoleh kepada kami.

“ Baru saja ada kabar, terjadi pembantaian muslim besar-besaran di Srebrenica. Mari doakan saudara-saudara kita dan para mujahidin disana “
Seketika kami semua terdiam. Tertunduk. Rasa sedih menjalar pelan. Marah. Kecewa. Aku melihatnya jelas pada wajah-wajah disekelilingku. Selesai berdoa, tampak Abu Imam basah matanya. Aku heran.
“ Kenapa anda, juga mereka merasa sedih, wahai Abu Imam? “
Ia masih menyeka airmata. Begitu juga yang lainnya.
“ Bukankah mencari syahid itu adalah impian dari setiap mujahidin ? “
Abu Imam memandangku dengan mata merah berkilat. Mendengus besar.
“ Kami bahagia atas itu wahai anakku. Tapi ketahuilah. Hati kami sakit. Terpukul. Bingung. Kenapa kebiadaban itu bisa terjadi! padahal Srebrenica dijaga ketat oleh pasukan UNPROFOR PBB!!“
Aku terlonjak kaget. Masya Alloh!

Abu Ahmad menginstruksikan bahwa perjalanan tetap dilanjutkan karena bala bantuan pasukan operasi Miracle sedang menuju kesana. Bunker-bunker di Vlasic harus tetap dijaga. Dengan perasaan kalut, kami tetap pada rencana semula. Tiga kilometer lagi. Tiba-tiba suara letusan senapan membabi buta memecah sunyi. Tampak pasukan Kroasia menembaki kami dari atas. Gaduh. Senjata kami kerahkan cepat tapi serangan yang mendadak membuat kami kewalahan. Aku beringsut turun mengendap menuju rimbunan semak. Sementara sebagian mujahidin itu gugur ditempat. Untung kamera dan videoku masih bisa diselamatkan.

Hanya sebelas orang yang selamat. Tiba-tiba perih menjalar dikaki. Celanaku basah darah. Sebuah timah panas bersarang didalamnya. Darah terus menetes-netes. Abu Ahmad yang juga selamat mendekat kepadaku lalu mengikat luka tersebut dengan sorbannya. Aku terharu. Kami tetap melanjutkan perjalanan setelah mengubur para jenasah. Hanya saja, wajah Abu Imam terus membekas dalam benak. Senyum. Candanya. Hingga perkenalan kami yang singkat sebelum akhirnya ia mendahului untuk berjumpa sang bidadari diatas sana. Ah, kenapa harus merasa kehilangan. Bukankah pertemuan-perpisahan, kehidupan-kematian, cepat-lambat adalah hal yang fitrah. Semoga Alloh memuliakanmu saudaraku…

Sore itu kami tiba di pegunungan Vlasic. Berjalan pelan. Sembunyi disemak-semak. Bertemu dengan rekan kami pasukan lain disana. Merancang strategi. Dan tepat malam nanti kami akan bergerak menuju bunker musuh dan mengambil alih tank. Salju turun sepanjang hari. Hingga  menjelang petang, kami bersiap untuk berbuka. Makanan bekal hanya roti yang hampir tak berasa apa-apa.

Tak ada api unggun untuk sekedar penghangat badan. Itu semua untuk menghindari mata-mata musuh yang bisa mengenali dimana arah cahaya. Malam gulita. Hanya rembulan benderang sahabat pengusir gelap. Dua buah tenda didirikan. Kami berkumpul hendak berbuka. Tapi rasa sakit teramat sangat membuatku hampir pingsan. Bisa-bisa peluru itu membuat busuk kaki kiriku. Aku ridho syahid, tapi jika diamputasi ? Ah, demi Tuhan aku tak sanggup melihatnya.

Seorang kawan membagikan roti jatah makan. Aku mengambilnya lalu duduk terpisah dibelakang tenda sambil memandang apa saja yang ada dibawah pegunungan. Terlihat cahaya putih mengerjap-kerjap dari kejauhan sana. Sebentar berubah kobaran api merah berpijar. Entah daerah manalagi yang diguncang ledakan. Aku melenguh panjang. Duduk di semak. Suara jangkrik dan hewan malam menggelitik telinga yang rindu kampung kecil di Jogja. Aku sudah berjanji kepada ibu syawal nanti merayakan lebaran di rumah. Tiba-tiba rasa rindu mendekap erat. Lebih dalam. Dan hampir membuatku terisak. Lebih menyayat sakitnya dari timah panas. Tapi lagi-lagi terasa nyeri dikaki. Aku menggigit bibir bawah hingga berdarah-darah.

“ Sudah hampir Isya’, kenapa roti belum kau makan wahai saudaraku “
Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh. Abu Ahmad! Aku menggeser tempat. Ia ikut duduk.
“ Tadi sebelum sholat magrib saya sempat minum, tapi  rasanya belum lapar untuk makan “
“ Aku tahu rasa sakitmu itu penyebabnya. Tapi rumah sakit jauh dari sini. Itu pun sudah tak berpenghuni. Sabarlah wahai saudaraku. Harapkan pahala Alloh. Lupakan rasa sakit itu sebagai penggugur dosamu “
Aku mengangguk. Intropeksi diri. Benar juga. Bukankah sakit bentuk rahmat Alloh yang lain. Astagfirullah…

“Kuatkanlah dirimu saudaraku. Sebentar lagi pertempuran menanti kita. Setelah sholat kita harus sudah bersiap “
Syukron jazakallahu khoiron khatsir
Abu Ahmad menepuk lagi pundakku. Ia hampir beranjak pergi ketika kupanggil kembali.
“ Wahai amir… “
“ Ya ? “
“ Saya boleh minta tolong ? “
“ Insya Alloh selama masih bisa untuk dibantu akan aku bantu “
“ Saya titipkan rekaman ini jika nanti Alloh menyeru saya untuk kembali. Tolong simpan baik-baik. Jika perang sudah usai, saya mohon kirimkanlah kepada karib saya Muhammad Naufal yang juga berada di daerah ini. Tapi jika tidak ketemu juga, demi cinta anda kepada jihad, saya mohon serahkan kepada rekan saya di Indonesia. Disitus Dzarwatus-sanam “
“ Insya Alloh, jika saya masih diberi kesempatan melaksanakan amanah itu. “
Abu Ahmad tersenyum lalu bergabung kembali dengan rekan-rekannya di depan. Aku lega.

Seusai sholat kami berarak menuju base-camp musuh. Tapi sebelum berangkat, Abu Ahmad mendapat pesan lewat radio jika seorang jurnalis tewas dalam ledakan beberapa jam lalu. Perasaanku carut marut. Harap-harap cemas. Abu Ahmad mendekat.
“ Temanmu Muhammad Naufal, benar ? “
Aku mengangguk. Hatiku riuh bergemuruh. Apalagi melihat iba pada raut lelaki itu.
“ Ia telah bertemu syahid ketika meliput serangan di Kosovo “
Diam. Mendadak tubuhku lemas. Beberapa rekan memegangi bahuku. Tenggorokanku tercekat pilu. Sedan tertahan. Hingga gerimis turun dari kelopak mata kala salju tipis menerpa mantelku.
“ Tabahkan hatimu, wahai saudaraku. Insya Alloh dia syahid “

Aku mengangguk. Meski hatiku kalut. Meski sendiku terasa meluruh. Ledakan ? ya, tak salah lagi, kobaran api yang berpijar merah tadi di Kosovo! Dan cahaya putih yang melesat.. Ah, mungkinkah itu ruh-ruh para syuhada yang langsung diangkat Tuhannya ? juga ruh Naufal karibku ? semoga Alloh menempatkanmu disisi Nya sahabatku…

Kesedihan itu dipaksa untuk terpendam karena kami sedang bergerak. Kami mengendap, menyelinap. Diantara gelap dan rimbunan semak sangat membantu untuk berlari menuju bunker musuh. Dua orang sudah mendahului kami kesana. Abu Ahmad memberi tambahan senapan PK kepadaku. Aku menitipkan rekaman-rekaman sebelumnya kepada lelaki itu. Dengan tertatih aku menyusul kedua mujahidin tadi. Musuh tak ada yang tahu ketika kuletakkan sebuah kamera dan video disebelahnya.

Mujahidin lainnya maju melalui jalan akses yang ada. Salah seorang mujahidin membuka serangan terhadap bunker tersebut dari salah satu sisi RPG (granat berpeluncur roket). Abu Ahmad mengambil posisi dan menunggu saat-saat untuk menyerang. Tapi orang-orang Serbia mengetahui sepertinya kedatangan kami. Lalu mereka mulai menembaki. Kami semua panik karena pasukan musuh lebih siap. Sedangkan pikiranku sendiri terus-menerus kepada Naufal.

Aku mengikuti kedua mujahidin yang berlari ke depan tanpa pernah kupikirkan resikonya. Mati atau hidup sudah pasrah. Bunyi letusan ada dimana-mana. Menderu. Bising. Aku sempat melihat para mujahidin lain tubuhnya ambruk ditembaki moncong senapan. Juga serpihan daging merah yang melayang-layang terkena granat. Semak yang memutih salju berubah warna hitam-merah darah. Peluru berseliweran dimana-mana. Aku juga melihat Abu Ahmad tampak kesakitan dan musuh ada dibelakangnya sementara ia tak tahu.

“ Abu Ahmad, awas!! “
Untung saja ia bisa mengelak. Aku berlari melintasi lapangan terbuka ingin membantunya. Ditengah-tengah tembakan membabi buta. Malam begitu riuh. Dan hewan-hewan hutan seolah bungkam menatap keadaan yang mencekam. Angin berhembus kencang.
“ Allahu Akbarrrr…!! “
Aku mendengar jelas saat Abu Ahmad berteriak lantang sambil melihatku tajam. Aku ingin sekali menanyakan kenapa. Tapi mendadak langkahku berat. Nafasku tersengal. Rupanya lelaki itu melihat jelas saat sebuah peluru melesat menembus ulu hatiku. Darah berceceran. Tubuhku ambruk. Sadar atau tidak. Aku melihat Naufal, Abu Imam, dan mujahidin lain tengah terbang dengan gadis-gadis cantik bersayap. Tiba-tiba tak ada lagi pertempuran. Dimana-dimana hanya taman dan sungai yang mengalir penuh warna. Tak ada jangkrik, kelelawar, maupun burung hantu disini. Hanya pipit hijau, kupu-kupu yang terbang kian kemari.

Aku memegang tangan Naufal. Tapi ia menolak halus.
“ Belum saatnya saudaraku, kau masih punya hutang kepada ibumu. Bertahanlah “
Subhanalloh! Wajahnya lebih putih, lebih bersih. Diliputi kemilau cahaya. Aku terus merengek ingin ikut dengannya. Tapi Naufal malah pergi menjauh. Aku berteriak-teriak memanggil namanya, ia hanya menoleh dengan mengucapkan kata-kata yang sama. Tiba-tiba aku merasa sakit kembali. Sinar itu pun berubah menjadi kelam. Bising deru senapan sudah tiada. Kepalaku dipangku seseorang. Abu Ahmad.

“ Kau masih hidup saudaraku! “
Aku hanya tersenyum dengan tubuh tak berdaya.
“ Perangnya ? “ tanyaku lemah.
“ Sudah selesai saudaraku! Allahu akbar! Pasukan kita menang! Ketahuilah sejak engkau tertembak banyak kejadian aneh. Tubuhmu bercahaya dan membuat musuh silau mata. Mereka yang tak paham sebuah karohmah hanya bisa tercengang. Padahal jelas janji Alloh bagi hambanya yang bersungguh-sungguh dijalan jihad. Seketika itu juga kami berbalik menyerang. Alhamdulillah, kita menduduki daerah ini sekarang “

Aku tersenyum kembali bersyukur. Benarkah apa yang dikatakan beliau. Mungkin itu setitik cahaya yang tak sengaja terbawa dari tempat asing pertemuanku dengan Naufal tadi.  Atau bisa saja, itu adalah sebagian doa ibu agar aku memenuhi janji pulang syawal nanti hingga atas ijin Alloh melesatlah doa dari sang ibu ? Wallahu ‘alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar