Gerimis
merembes di permukaan tanah yang sudah seminggu ini kering di babat habis
garangnya si lidah suryani. Angin diluar berhembus kencang, masuk lewat jendela
yang sengaja masih dibuka lebar. Jendela itu milik sebuah kamar yang menatap
jalan dan taman depan. Dalam satu purnama, sorot rembulan biasa jatuh tepat di
atas mahkota bunga-bunga. Tampak anggun warnanya yang ceria. Mengembalikan hati
nan resah, digenangi harum melati, terbang dinahkodai gemintang yang tersenyum
berucap selamat malam dengan bahasanya sendiri. Mungkin saat itulah alam sedang
bertasbih.
Seorang
wanita duduk di kursi malas menina bobo kan
bayi mungil di pangkuannya. Risau pikirannya. Matanya memandang dengan tatapan
kosong. Mendengar bising kendaraan yang berlalu lalang, tidak hampir. Seseorang
yang melihat kondisinya saat itu akan langsung tahu bahwa ia sedang murung, ada
gejolak batin teramat kuat. Hingga tak ada beberapa menit, Si bayi tertidur jua
dalam gendongan keluh kesah meski ia tak tahu apa-apa.
Malam
ini seperti malam-malam sebelumnya. Hanya suara jangkrik, katak, dan hewan lain
yang biasa membunuh sepi. Rumah kontrakkannya jauh dari pemukiman penduduk.
Bersama keluarga kecilnya mereka tinggal dipinggir jalan besar. Di puri
sederhana itu, tiga jiwa menghuni dalam satu kamar. Ia, bayinya, dan sang suami
yang jarang pulang. Bayi nya masih belum bisa berceloteh apa-apa. Terasa
semarak yang dirindui wanita itu tak kunjung datang jua. Mengajak ngobrol suami
sepertinya hal sia-sia. Lelaki tampan yang nampak di foto perkawinannya itu
seorang supir bis malam, hanya dua kali seminggu pulang menjenguk.
Jam
satu-satunya yang menggantung di dinding kamar menuai protes. Pukul sebelas
malam, yang ditunggu tak segera muncul. Minggu kemarin suaminya tak pulang lagi.
Wanita itu khawatir. Beras untuk esok hari tak ada. Jatah uang untuk keperluan
rumah tangga ludes jauh-jauh hari. Bahkan cincin kawin, barang berharga
satu-satunya yang ia miliki juga sudah laku terjual. Sejak minggu lalu ia hanya
makan nasi dan kecap hitam. Jangankan lauk, sayur pun tak mampu terhidang.
Mungkin percuma saja ia punya meja makan. Padahal saat ini gizi penting bagi
tubuhnya karena masih dalam tahap menyusui. Bayinya perlu nutrisi sehat dari
ASI sang ibu.
Seseorang
mengetuk pintu saat wanita kurus itu sedang menutup daun jendela dengan papan
kayu. Hatinya bersorak riang. Sang pujaan hati telah pulang. Cepat-cepat
dibukakannya pintu. Benar. Berdiri sang suami dengan bau keringat teramat
menusuk hidung. Dalam hati ia bersyukur, sore tadi seorang baik hati memberi
sepotong tempe
goreng, dan ditaruhnya dalam lemari untuk lauk sang suami saat makan malam.
Mereka
berbincang. Berpangku-pangkuan ditemani derai gerimis yang makin berisik.
Wanita itu istri yang patuh dan amat penurut. Suaminya pernah marah-marah
karena ia tak pernah protes, mengomel layaknya istri-istri lain. Hanya mengalah
dan hidupnya seperti air mengalir. Tapi
malam itu berbeda. Sang suami tahu istrinya cerdas, ia mencari cara agar
belahan jiwanya bisa jujur terhadap apa yang ia rasakan saat ini.
“
Apa arti sepi bagimu, Dik ? “
“
Sepi bagiku; adalah aku tetap merasa gelap sekalipun kunang-kunang berjalan
dengan seribu kristal benderang dan cahaya yang sudah pecah “
“
Hmm, bagus. Lalu apa arti sendiri serta rindu menurutmu ? “
“
Sendiri serta rindu bagiku; adalah aku melihat dunia terasa kosong, dan
ruangannya hanya dihuni satu wajah. Disekelilingnya berpendar cahaya keemasan,
lalu wajah itu berubah menjadi seorang raja dalam dimensi magistik yang sulit
kumengerti “
“
Betulkah. Sedangkan arti sedih dalam pandanganmu ? “
“
Sedih bagiku; adalah aku sama seperti milyaran hati manusia. Rasa yang tercipta
untuk dibenci. Membunuh bahagia dan jembatan airmata “
“
Tapi, dik. Bukankah dengan rasa sedih orang akan bisa menghargai kebahagiaan ?
“
Wanita
itu hanya mengangguk pelan.
“
Dan apakah arti bahagia dalam kamus hatimu ? “
Wanita
itu diam. Jawabannya tidak gencar seperti saat menjawab pertanyaan yang pertama
hingga ketiga tadi.
“
cinta ? “
Wanita
itu masih diam juga. Mencari kata-kata.
Si
wanita berpikir lama. Lalu meminta maaf karena tak bisa menjawab. Ia butuh
beberapa hari untuk dapat menterjemahkan apa itu arti kebahagiaan dan cinta.
Sang suami tergugu. Atas sikap istrinya hatinya digempur badai. Semalam tiada
sekejap pun kelopak matanya dapat mengatup. Tak pernah ada yang tahu malam itu ia
menangis. Pernyataan paling tulus dan jujur yang diberikan sang istri membuat
hatinya hancur. Ia sudah tahu jawaban, keputusan apa, tentang nasib rumah
tangga dari bingkai perjodohan kedua orangtua mereka. Pagi-pagi sang suami
berangkat kerja, siang sudah kembali lagi ke rumah. Lain dari biasanya. Ia juga
menggandeng seorang wanita muda yang dikenalnya beberapa minggu lalu di
terminal.
“
Apa maksudmu itu mas ? “ mata sang istri membelalak penuh amarah yang disembunyikannya
rapat-rapat. Melihat wanita yang bergelayut manja di tangan suaminya.
“
Dik, tenanglah. Mari kita bicarakan ini baik-baik. “
“
Baiklah, tapi aku butuh penjelasanmu sekarang “
Mereka
bertiga duduk di kursi tamu. Warna cat lusuh dan hampir terkelupas menjadi
isyarat peristiwa sepanjang sejarah didalamnya.
“
Selama ini kau tak pernah merasa bahagia, Dik. Betapa sakit hatiku bahwa aku
hanya membawa kesedihan dalam hidupmu. Bahkan kau masih belum bisa mncintaiku
sejak perjodohan kita dua tahun lalu “.Sang suami berhenti sejenak. Istrinya
mulai nampak berkaca-kaca. Tak mengerti apa maksud perkataan sang suami. Lalu
ayah dari jabang bayinya itu kembali melanjutkan penjelasannya. Sang istri
memandangi bingung.
“
Kemarin saat kutanyakan arti sepi, rindu serta sendiri, sedih, dengan lancar
langsung kau jawab tanpa berhenti sejenak untuk berpikir mengolah kata. Karena
apa ? karena kau menjawabnya dengan hatimu yang paling dalam, paling tulus. Kau
sedang mencurahkan perasaanmu yang sesungguhnya walau kau tak sadar aku tengah
meraba kejujuranmu padaku. Tapi saat kutanyakan arti bahagia, dan cinta ? aih,
kau kesulitan, butuh waktu untuk berpikir, dan saat itulah aku sudah tahu
jawabannya. Kau tak bisa menjawab karena kedua arti itu belum kau dapatkan dari
kehidupanmu. Kau tak merasa bahagia dan cinta, aku paham.
Kita
menikah saat hatimu telah direbut kekasihmu yang dulu. Karena baktimu pada
orangtua yang meski mengorbankan perasaanmu sendiri, akhirnya kau menerima
perjodohan itu. Aku merasa semakin hari hanya menyakitimu. Kau juga begitu
patuh dan penurut padaku bukan karena mencintaiku, tapi sebatas ketidak
beranianmu untuk melawan kepada takdir hidup. Bahwa aku adalah imam dan
posisimu adalah makmum. Kau sungguh wanita yang luar biasa.
Maafkan
aku jika butuh warna dari sikapmu. Aku beristri, bukan robot. Bukan pula
malaikat. Minggu kemarin aku sengaja tak pulang, agar kau mengomel dan
menasehatiku. Tapi sedikitpun tak kau lakukan itu. Bahkan kau ridho saat aku
juga sengaja terlambat memberi nafkah untuk biaya hidup. Seberapa lama ridho
itu berlaku ? kenapa kau tak menuntut demi kesehatanmu sendiri yang sedang
membutuhkan banyak gizi, bahkan kau diam mengalah, dan memilih makan nasi berkecap. Hatiku begitu
miris.
Dik,
aku butuh kawan hidup yang bukan hanya membersamai tetapi juga patner. Aku
ingin dengar sifat manja dan kekanak-kanakkan yang tak pernah kutemukan darimu.
Aku butuh orang yang mengingatkanku, menegur jika suatu kali aku berbuat
kesalahan. Aku butuh marahmu sekali-kali, protes, atensi sumbang asih
pemikiranmu. Bukan selalu kata ‘sendhiko dhawuh’, ya jika perbuatanku benar,
jika salah ? Seandainya menjadi raja, aku ingin kau duduk menemaniku di
singgasana. Bukan berlaku sebagai budak yang takut kepada tuannya. Bukan. Bukan
begitu.
Karena
itulah hari ini aku membawa seorang wanita yang sebentar lagi akan aku nikahi.
Semoga dengan begini kau tak akan takut untuk bermimpi meminta seorang suami yang
kau cintai dan lebih baik serta bisa membahagiakanmu. Karena sebelumnya pasti
kau tak pernah berani untuk mengatakan keinginan itu padaku. Aku hanya sebagai
penghalang kebahagiaanmu, dan kata maaf tak terperi untuk semua itu. Aku talak
dirimu, dan esok akan kuurus surat
perceraian kita untuk meringankan berat beban yang sudah selama ini kau
tanggung. Selamat tinggal “
Sang
suami bangkit, gontai berjalan pergi. Hatinya remuk redam. Meski ditangan
menggandeng seorang wanita yang lebih cantik, matanya tetap berair. Ia masih sangat mencintai sang istri yang
kini masih duduk terpaku menatapnya pergi makin menjauh. Ia juga tak kan pernah tahu saat
istrinya menitikkan airmata satu-satu.
“
Arti bahagia; adalah aku meski terlambat, masih sempat berucap -aku begitu mencintaimu-.
Dan
arti cinta; adalah aku dengan ketundukkanku, kepatuhanku, adalah bentuk rasa
cintaku padamu, bukan sebagai budak kepada tuannya. Cinta tak butuh kata-kata.
Cinta menuntut bukti dan pengorbanan meski dengan cara yang tak dapat kau
mengerti. Suamiku, bagaimana aku dapat mengatakan sedih, duka, dan omelan,
sementara melihat tetes keringat yang jatuh dipelipismu membuat kataku pecah
dihadapanmu. Kau sudah cukup lelah dengan pekerjaanmu. Tak tega aku makin
membebanimu dengan keegoisanku. Ini adalah wujud pengabdianku kepada Tuhan
untuk melayanimu atas kewajibanku dan hak mu sebagai suami. Mungkin takdir saja
yang kini berkata lain ”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar