Halaman

Sabtu, 24 Desember 2011

Cinta Untuk Suamiku



Gerimis merembes di permukaan tanah yang sudah seminggu ini kering di babat habis garangnya si lidah suryani. Angin diluar berhembus kencang, masuk lewat jendela yang sengaja masih dibuka lebar. Jendela itu milik sebuah kamar yang menatap jalan dan taman depan. Dalam satu purnama, sorot rembulan biasa jatuh tepat di atas mahkota bunga-bunga. Tampak anggun warnanya yang ceria. Mengembalikan hati nan resah, digenangi harum melati, terbang dinahkodai gemintang yang tersenyum berucap selamat malam dengan bahasanya sendiri. Mungkin saat itulah alam sedang bertasbih. 

Seorang wanita duduk di kursi malas menina bobo kan bayi mungil di pangkuannya. Risau pikirannya. Matanya memandang dengan tatapan kosong. Mendengar bising kendaraan yang berlalu lalang, tidak hampir. Seseorang yang melihat kondisinya saat itu akan langsung tahu bahwa ia sedang murung, ada gejolak batin teramat kuat. Hingga tak ada beberapa menit, Si bayi tertidur jua dalam gendongan keluh kesah meski ia tak tahu apa-apa.
Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Hanya suara jangkrik, katak, dan hewan lain yang biasa membunuh sepi. Rumah kontrakkannya jauh dari pemukiman penduduk. Bersama keluarga kecilnya mereka tinggal dipinggir jalan besar. Di puri sederhana itu, tiga jiwa menghuni dalam satu kamar. Ia, bayinya, dan sang suami yang jarang pulang. Bayi nya masih belum bisa berceloteh apa-apa. Terasa semarak yang dirindui wanita itu tak kunjung datang jua. Mengajak ngobrol suami sepertinya hal sia-sia. Lelaki tampan yang nampak di foto perkawinannya itu seorang supir bis malam, hanya dua kali seminggu pulang menjenguk. 

Jam satu-satunya yang menggantung di dinding kamar menuai protes. Pukul sebelas malam, yang ditunggu tak segera muncul. Minggu kemarin suaminya tak pulang lagi. Wanita itu khawatir. Beras untuk esok hari tak ada. Jatah uang untuk keperluan rumah tangga ludes jauh-jauh hari. Bahkan cincin kawin, barang berharga satu-satunya yang ia miliki juga sudah laku terjual. Sejak minggu lalu ia hanya makan nasi dan kecap hitam. Jangankan lauk, sayur pun tak mampu terhidang. Mungkin percuma saja ia punya meja makan. Padahal saat ini gizi penting bagi tubuhnya karena masih dalam tahap menyusui. Bayinya perlu nutrisi sehat dari ASI sang ibu.

Seseorang mengetuk pintu saat wanita kurus itu sedang menutup daun jendela dengan papan kayu. Hatinya bersorak riang. Sang pujaan hati telah pulang. Cepat-cepat dibukakannya pintu. Benar. Berdiri sang suami dengan bau keringat teramat menusuk hidung. Dalam hati ia bersyukur, sore tadi seorang baik hati memberi sepotong tempe goreng, dan ditaruhnya dalam lemari untuk lauk sang suami saat makan malam. 

Mereka berbincang. Berpangku-pangkuan ditemani derai gerimis yang makin berisik. Wanita itu istri yang patuh dan amat penurut. Suaminya pernah marah-marah karena ia tak pernah protes, mengomel layaknya istri-istri lain. Hanya mengalah dan hidupnya seperti  air mengalir. Tapi malam itu berbeda. Sang suami tahu istrinya cerdas, ia mencari cara agar belahan jiwanya bisa jujur terhadap apa yang ia rasakan saat ini.

“ Apa arti sepi bagimu, Dik ? “
“ Sepi bagiku; adalah aku tetap merasa gelap sekalipun kunang-kunang berjalan dengan seribu kristal benderang dan cahaya yang sudah pecah “
“ Hmm, bagus. Lalu apa arti sendiri serta rindu menurutmu ? “
“ Sendiri serta rindu bagiku; adalah aku melihat dunia terasa kosong, dan ruangannya hanya dihuni satu wajah. Disekelilingnya berpendar cahaya keemasan, lalu wajah itu berubah menjadi seorang raja dalam dimensi magistik yang sulit kumengerti “
“ Betulkah. Sedangkan arti sedih dalam pandanganmu ? “
“ Sedih bagiku; adalah aku sama seperti milyaran hati manusia. Rasa yang tercipta untuk dibenci. Membunuh bahagia dan jembatan airmata “
“ Tapi, dik. Bukankah dengan rasa sedih orang akan bisa menghargai kebahagiaan ? “

Wanita itu hanya mengangguk pelan.
“ Dan apakah arti bahagia dalam kamus hatimu ? “
Wanita itu diam. Jawabannya tidak gencar seperti saat menjawab pertanyaan yang pertama hingga ketiga tadi.
“ cinta ? “
Wanita itu masih diam juga. Mencari kata-kata.

Si wanita berpikir lama. Lalu meminta maaf karena tak bisa menjawab. Ia butuh beberapa hari untuk dapat menterjemahkan apa itu arti kebahagiaan dan cinta. Sang suami tergugu. Atas sikap istrinya hatinya digempur badai. Semalam tiada sekejap pun kelopak matanya dapat mengatup. Tak pernah ada yang tahu malam itu ia menangis. Pernyataan paling tulus dan jujur yang diberikan sang istri membuat hatinya hancur. Ia sudah tahu jawaban, keputusan apa, tentang nasib rumah tangga dari bingkai perjodohan kedua orangtua mereka. Pagi-pagi sang suami berangkat kerja, siang sudah kembali lagi ke rumah. Lain dari biasanya. Ia juga menggandeng seorang wanita muda yang dikenalnya beberapa minggu lalu di terminal.

“ Apa maksudmu itu mas ? “ mata sang istri membelalak penuh amarah yang disembunyikannya rapat-rapat. Melihat wanita yang bergelayut manja di tangan suaminya.
“ Dik, tenanglah. Mari kita bicarakan ini baik-baik. “
“ Baiklah, tapi aku butuh penjelasanmu sekarang “
Mereka bertiga duduk di kursi tamu. Warna cat lusuh dan hampir terkelupas menjadi isyarat peristiwa sepanjang sejarah didalamnya. 

“ Selama ini kau tak pernah merasa bahagia, Dik. Betapa sakit hatiku bahwa aku hanya membawa kesedihan dalam hidupmu. Bahkan kau masih belum bisa mncintaiku sejak perjodohan kita dua tahun lalu “.Sang suami berhenti sejenak. Istrinya mulai nampak berkaca-kaca. Tak mengerti apa maksud perkataan sang suami. Lalu ayah dari jabang bayinya itu kembali melanjutkan penjelasannya. Sang istri memandangi bingung.

“ Kemarin saat kutanyakan arti sepi, rindu serta sendiri, sedih, dengan lancar langsung kau jawab tanpa berhenti sejenak untuk berpikir mengolah kata. Karena apa ? karena kau menjawabnya dengan hatimu yang paling dalam, paling tulus. Kau sedang mencurahkan perasaanmu yang sesungguhnya walau kau tak sadar aku tengah meraba kejujuranmu padaku. Tapi saat kutanyakan arti bahagia, dan cinta ? aih, kau kesulitan, butuh waktu untuk berpikir, dan saat itulah aku sudah tahu jawabannya. Kau tak bisa menjawab karena kedua arti itu belum kau dapatkan dari kehidupanmu. Kau tak merasa bahagia dan cinta, aku paham. 

Kita menikah saat hatimu telah direbut kekasihmu yang dulu. Karena baktimu pada orangtua yang meski mengorbankan perasaanmu sendiri, akhirnya kau menerima perjodohan itu. Aku merasa semakin hari hanya menyakitimu. Kau juga begitu patuh dan penurut padaku bukan karena mencintaiku, tapi sebatas ketidak beranianmu untuk melawan kepada takdir hidup. Bahwa aku adalah imam dan posisimu adalah makmum. Kau sungguh wanita yang luar biasa. 

Maafkan aku jika butuh warna dari sikapmu. Aku beristri, bukan robot. Bukan pula malaikat. Minggu kemarin aku sengaja tak pulang, agar kau mengomel dan menasehatiku. Tapi sedikitpun tak kau lakukan itu. Bahkan kau ridho saat aku juga sengaja terlambat memberi nafkah untuk biaya hidup. Seberapa lama ridho itu berlaku ? kenapa kau tak menuntut demi kesehatanmu sendiri yang sedang membutuhkan banyak gizi, bahkan kau diam mengalah, dan  memilih makan nasi berkecap. Hatiku begitu miris. 

Dik, aku butuh kawan hidup yang bukan hanya membersamai tetapi juga patner. Aku ingin dengar sifat manja dan kekanak-kanakkan yang tak pernah kutemukan darimu. Aku butuh orang yang mengingatkanku, menegur jika suatu kali aku berbuat kesalahan. Aku butuh marahmu sekali-kali, protes, atensi sumbang asih pemikiranmu. Bukan selalu kata ‘sendhiko dhawuh’, ya jika perbuatanku benar, jika salah ? Seandainya menjadi raja, aku ingin kau duduk menemaniku di singgasana. Bukan berlaku sebagai budak yang takut kepada tuannya. Bukan. Bukan begitu. 

Karena itulah hari ini aku membawa seorang wanita yang sebentar lagi akan aku nikahi. Semoga dengan begini kau tak akan takut untuk bermimpi meminta seorang suami yang kau cintai dan lebih baik serta bisa membahagiakanmu. Karena sebelumnya pasti kau tak pernah berani untuk mengatakan keinginan itu padaku. Aku hanya sebagai penghalang kebahagiaanmu, dan kata maaf tak terperi untuk semua itu. Aku talak dirimu, dan esok akan kuurus surat perceraian kita untuk meringankan berat beban yang sudah selama ini kau tanggung. Selamat tinggal “

Sang suami bangkit, gontai berjalan pergi. Hatinya remuk redam. Meski ditangan menggandeng seorang wanita yang lebih cantik, matanya tetap berair.  Ia masih sangat mencintai sang istri yang kini masih duduk terpaku menatapnya pergi makin menjauh. Ia juga tak kan pernah tahu saat istrinya menitikkan airmata satu-satu.

“ Arti bahagia; adalah aku meski terlambat, masih sempat berucap -aku begitu mencintaimu-. 

Dan arti cinta; adalah aku dengan ketundukkanku, kepatuhanku, adalah bentuk rasa cintaku padamu, bukan sebagai budak kepada tuannya. Cinta tak butuh kata-kata. Cinta menuntut bukti dan pengorbanan meski dengan cara yang tak dapat kau mengerti. Suamiku, bagaimana aku dapat mengatakan sedih, duka, dan omelan, sementara melihat tetes keringat yang jatuh dipelipismu membuat kataku pecah dihadapanmu. Kau sudah cukup lelah dengan pekerjaanmu. Tak tega aku makin membebanimu dengan keegoisanku. Ini adalah wujud pengabdianku kepada Tuhan untuk melayanimu atas kewajibanku dan hak mu sebagai suami. Mungkin takdir saja yang kini berkata lain ”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar