Halaman

Sabtu, 24 Desember 2011

Luka Dingin Bisu


“ …tak ada seorang pun yang menginginkan berpisah dengan orang yang dikasihi, Har,  kecuali keadaan yang memaksanya berbuat demikian. Orang-orang seperti itu adalah mereka yang kalah dalam situasi tertentu. Konsekuensi terhadap pilihan, dan hal ini juga berlaku baginya, mereka… “

Hal itu yang selalu dikatakan ibu. Aku tahu, betapa berat ia mengucapkannya hingga harus sembunyi-sembunyi menitikkan airmata. Beberapa detik, ujung lengan baju menyeka cepat. Lantas wanita itu seolah berubah kembali menjadi beton sangga. Tatapan dingin yang dikuat-kuatkan. Sementara aku hanya diam. Memandangi sambil melepas semangat dan berangsur tipis.

Ibu akan bergegas ke dapur. Berpura-pura menawarkan susu coklat. Pergi secepat kedipan mata dan memutar kran wastafel dengan keras, saat itulah ia akan menangis disana diam-diam. Aku sendiri masih terpaku di kamar. Begitu tiap kali aku ingin tahu dimana ayah.

Awalnya semua biasa saja. Dan ibu akan menjawab dengan tenang, bahwa lelaki yang terakhir kutemui saat usiaku belum genap enam tahun itu meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Aku percaya saja, karena memang ada sebuah peti mati diberanda rumah beberapa tahun silam. Tapi itu dulu. Kini, saat usiaku hampir kepala dua, ada sebuah tembok besar nan kokoh ditengah-tengah kesadaranku akan cerita ibu. Tepatnya saat tak sengaja aku masuk ke ruang kerja ayah. Semua yang dulu polos, mulai terbetik tanda-tanda.

Entah sudah berapa tahun tempat itu menjadi gudang dadakan. Seolah ibu ingin mengubur hal tertentu yang lama terkunci rapat. Kalau saja aku tak mengamati betul-betul, mungkin sampai sekarang masih mengira bahwa ruangan gelap itu hanya tempat terakhir bagi bersemayamnya tumpukkan barang bekas berikut mainan Andini yang masih kelas satu SD. Aku juga begitu naïf, bahkan terlampau bodoh. Kenapa baru akhir-akhir ini aku sadari kejanggalan demi kejanggalan sikap ibu. Pandangannya yang tak pernah berani langsung menatap mataku, hingga kengerian berlebih ketika kuutarakan niat untuk memilih jalur jurnalistik. Ibu dengan tegas melarang cita-citaku tersebut.

Tapi kenapa ? bukankah kartu tanda pengenal yang kutemukan tadi adalah bukti bahwa dulunya ayah adalah seorang wartawan ? bahkan piagam beserta piala-piala penghargaan di dalam sebuah kardus usang cukup mengejawantahkan beliau orang tenar. Lalu mengapa ibu melarangku untuk napak tilas profesi ayah ? bukankah seharusnya beliau bangga darah ayah telah mengalir dalam tubuhku sebagai wartawan pula.

Mengingat itu membuatku kecewa kepada ibu karena selama ini telah membohongi kami. Aku dan Andini. Dibalik dokumen-dokumen ayah diruang kerja tersebut, kenyataan sedikit demi sedikit mulai terbaca. Ya, ayahku tidak meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Beberapa makalah, file liputan tentang Madamme Mitterand (istri mantan Presiden Perancis), Martha Meyer dari Humanistisch Overleg Mensenrechten (HOM/ Belanda) dan sejumlah wartawan seperti Nicollen Herblot dari IKON Belanda atau David Jankins dari Far Eastern Economic Review sekitar tahun ’77-’78, tanpa sengaja ikut membantuku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ayahku. Mereka semua adalah tokoh-tokoh HAM pada masanya yang mencoba mengurai fakta dibalik ganasnya orde baroe berikut ‘perlakuan istimewa’ bagi korban ‘dosa-dosa warisan’. Dan mungkinkah ayah ikut terlibat ?

Ibu kembali dari dapur, mengusap kepalaku dengan hangat. Sembari meletakkan segelas susu soklat di meja.  Ia duduk sebentar ditepi kasur. Menatap buku-buku tebal dibantal, tersenyum. Mengira tugas kuliah yang sebenarnya dokumen pribadi milik ayah yang kuambil dari gudang.

“ kerjakan besok saja, sekarang sudah malam…”
Ibu mendekatkan bibirnya diatas keningku, aku mengangguk. Ia hendak berlalu keluar saat kupanggil kembali.
“ ada apa lagi sayang ? “


sorot matanya yang sayu nampak redup dan bias. Keriput ada dikanan kirinya. Melihat itu aku jadi tak tega. Kuurungkan niat untuk bertanya lebih mendalam tentang hal-hal yang sepertinya tak ingin ia bongkar. Dan tentu sudah ibu putuskan matang menguncinya rapat, dan membiarkan semua mengendap sampai semua memang benar-benar hilang dalam ingatan.

Rasanya tak adil aku bertanya lebih jauh, meski sudah menjadi hak-ku sebagai seorang anak untuk ingin tahu kejadian apa yang sebenarnya terhadap ayah. Bukti-bukti yang kutemukan tadi setidaknya lebih dari cukup untuk sekedar ‘cari tahu’.
Ibu melihatku dengan gugup. Mungkin ia sudah mengira aku akan mengorek kembali keterangan tentang ayah. Aku tersenyum.

“ aku sayang ibu… “
Sampai disini ibu ikut tersenyum lembut,
“ juga ayah…”
Tambahku yang lantas merubah mimik ibu mendadak muram.
“ iya, ibu juga sayang kamu, Har. Andini. Dan juga, ayah… “

Menyebut kata ayah, suara ibu terdengar berat dan sedikit bergetar. Ada gurat kesedihan teramat dalam sepertinya. Melihat semua itu tiba-tiba aku menyesal kenapa selama ini selalu memojokkan ibu dengan perihal kematian ayah. Kenapa aku tak pernah memikirkan bagaimana perasaan wanita itu ? bukankah dalam kondisi mental, ibu yang lebih berat menjalani hari-hari tanpa ayah. Lelaki yang dicintainya. Dimana pengertianku untuk menghormati ketegaran yang ia jaga ?

Selepas mengatakan itu ibu menutup pintu dengan pelan. Tapi entah apa yang terjadi disebaliknya. Harus berapa kali pula aku memaksa jatuh bulir bening dari kelopak mata wanita itu demi memperoleh hak-ku sebagai seorang anak yang menanyakan tentang ayahnya ?

tapi jika dengan hal tersebut malah mengorek luka lama yang sudah habis terpendam, biarlah kututup pertanyaan kepada ibu sampai disini. Menepis prasangka sejarah yang suram. Dan melonggarkan kesimpulanku sendiri untuk menjawabnya meski terbata-bata. Tapi, para lelaki itu, rombongan berseragam loreng yang datang tengah malam lalu menyeret ayah keluar dengan paksa, yang sejak itulah ayah tak pernah kembali lagi ke rumah. Dan sepertinya ibu memang lupa, aku masih ingat betul peristiwa malam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar