“ …tak ada
seorang pun yang menginginkan berpisah dengan orang yang dikasihi, Har, kecuali keadaan yang memaksanya berbuat
demikian. Orang-orang seperti itu adalah mereka yang kalah dalam situasi
tertentu. Konsekuensi terhadap pilihan, dan hal ini juga berlaku baginya,
mereka… “
Hal itu yang
selalu dikatakan ibu. Aku tahu, betapa berat ia mengucapkannya hingga harus
sembunyi-sembunyi menitikkan airmata. Beberapa detik, ujung lengan baju menyeka
cepat. Lantas wanita itu seolah berubah kembali menjadi beton sangga. Tatapan
dingin yang dikuat-kuatkan. Sementara aku hanya diam. Memandangi sambil melepas
semangat dan berangsur tipis.
Ibu akan
bergegas ke dapur. Berpura-pura menawarkan susu coklat. Pergi secepat kedipan
mata dan memutar kran wastafel dengan keras, saat itulah ia akan menangis
disana diam-diam. Aku sendiri masih terpaku di kamar. Begitu tiap kali aku
ingin tahu dimana ayah.
Awalnya semua
biasa saja. Dan ibu akan menjawab dengan tenang, bahwa lelaki yang terakhir
kutemui saat usiaku belum genap enam tahun itu meninggal karena kecelakaan lalu
lintas. Aku percaya saja, karena memang ada sebuah peti mati diberanda rumah
beberapa tahun silam. Tapi itu dulu. Kini, saat usiaku hampir kepala dua, ada
sebuah tembok besar nan kokoh ditengah-tengah kesadaranku akan cerita ibu.
Tepatnya saat tak sengaja aku masuk ke ruang kerja ayah. Semua yang dulu polos,
mulai terbetik tanda-tanda.
Entah sudah
berapa tahun tempat itu menjadi gudang dadakan. Seolah ibu ingin mengubur hal
tertentu yang lama terkunci rapat. Kalau saja aku tak mengamati betul-betul,
mungkin sampai sekarang masih mengira bahwa ruangan gelap itu hanya tempat
terakhir bagi bersemayamnya tumpukkan barang bekas berikut mainan Andini yang
masih kelas satu SD. Aku juga begitu naïf, bahkan terlampau bodoh. Kenapa baru
akhir-akhir ini aku sadari kejanggalan demi kejanggalan sikap ibu. Pandangannya
yang tak pernah berani langsung menatap mataku, hingga kengerian berlebih
ketika kuutarakan niat untuk memilih jalur jurnalistik. Ibu dengan tegas
melarang cita-citaku tersebut.
Tapi kenapa ?
bukankah kartu tanda pengenal yang kutemukan tadi adalah bukti bahwa dulunya
ayah adalah seorang wartawan ? bahkan piagam beserta piala-piala penghargaan di
dalam sebuah kardus usang cukup mengejawantahkan beliau orang tenar. Lalu
mengapa ibu melarangku untuk napak tilas profesi ayah ? bukankah seharusnya
beliau bangga darah ayah telah mengalir dalam tubuhku sebagai wartawan pula.
Mengingat itu
membuatku kecewa kepada ibu karena selama ini telah membohongi kami. Aku dan
Andini. Dibalik dokumen-dokumen ayah diruang kerja tersebut, kenyataan sedikit
demi sedikit mulai terbaca. Ya, ayahku tidak meninggal karena kecelakaan lalu
lintas. Beberapa makalah, file liputan tentang Madamme Mitterand (istri mantan
Presiden Perancis), Martha Meyer dari Humanistisch Overleg Mensenrechten (HOM/
Belanda) dan sejumlah wartawan seperti Nicollen Herblot dari IKON Belanda atau
David Jankins dari Far Eastern Economic Review sekitar tahun ’77-’78, tanpa
sengaja ikut membantuku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ayahku. Mereka
semua adalah tokoh-tokoh HAM pada masanya yang mencoba mengurai fakta dibalik
ganasnya orde baroe berikut ‘perlakuan istimewa’ bagi korban ‘dosa-dosa
warisan’. Dan mungkinkah ayah ikut terlibat ?
Ibu kembali dari
dapur, mengusap kepalaku dengan hangat. Sembari meletakkan segelas susu soklat
di meja. Ia duduk sebentar ditepi kasur.
Menatap buku-buku tebal dibantal, tersenyum. Mengira tugas kuliah yang
sebenarnya dokumen pribadi milik ayah yang kuambil dari gudang.
“ kerjakan besok
saja, sekarang sudah malam…”
Ibu mendekatkan
bibirnya diatas keningku, aku mengangguk. Ia hendak berlalu keluar saat
kupanggil kembali.
“ ada apa lagi
sayang ? “
sorot matanya
yang sayu nampak redup dan bias. Keriput ada dikanan kirinya. Melihat itu aku
jadi tak tega. Kuurungkan niat untuk bertanya lebih mendalam tentang hal-hal
yang sepertinya tak ingin ia bongkar. Dan tentu sudah ibu putuskan matang menguncinya
rapat, dan membiarkan semua mengendap sampai semua memang benar-benar hilang
dalam ingatan.
Rasanya tak adil
aku bertanya lebih jauh, meski sudah menjadi hak-ku sebagai seorang anak untuk
ingin tahu kejadian apa yang sebenarnya terhadap ayah. Bukti-bukti yang
kutemukan tadi setidaknya lebih dari cukup untuk sekedar ‘cari tahu’.
Ibu melihatku
dengan gugup. Mungkin ia sudah mengira aku akan mengorek kembali keterangan
tentang ayah. Aku tersenyum.
“ aku sayang
ibu… “
Sampai disini
ibu ikut tersenyum lembut,
“ juga ayah…”
Tambahku yang
lantas merubah mimik ibu mendadak muram.
“ iya, ibu juga
sayang kamu, Har. Andini. Dan juga, ayah… “
Menyebut kata
ayah, suara ibu terdengar berat dan sedikit bergetar. Ada gurat kesedihan teramat dalam sepertinya.
Melihat semua itu tiba-tiba aku menyesal kenapa selama ini selalu memojokkan
ibu dengan perihal kematian ayah. Kenapa aku tak pernah memikirkan bagaimana
perasaan wanita itu ? bukankah dalam kondisi mental, ibu yang lebih berat
menjalani hari-hari tanpa ayah. Lelaki yang dicintainya. Dimana pengertianku
untuk menghormati ketegaran yang ia jaga ?
Selepas
mengatakan itu ibu menutup pintu dengan pelan. Tapi entah apa yang terjadi
disebaliknya. Harus berapa kali pula aku memaksa jatuh bulir bening dari
kelopak mata wanita itu demi memperoleh hak-ku sebagai seorang anak yang
menanyakan tentang ayahnya ?
tapi jika dengan
hal tersebut malah mengorek luka lama yang sudah habis terpendam, biarlah
kututup pertanyaan kepada ibu sampai disini. Menepis prasangka sejarah yang
suram. Dan melonggarkan kesimpulanku sendiri untuk menjawabnya meski
terbata-bata. Tapi, para lelaki itu, rombongan berseragam loreng yang datang
tengah malam lalu menyeret ayah keluar dengan paksa, yang sejak itulah ayah tak
pernah kembali lagi ke rumah. Dan sepertinya ibu memang lupa, aku masih ingat
betul peristiwa malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar