Halaman

Sabtu, 24 Desember 2011

Di Ruang Pembantaian



Aku berdiri sigap diantara bangku depan. Tepat saat mata jam mulai ditegakkan. Detik-detik menjelang hajatan besar. Ini hari pertama ujian nasional SMA. Tadi, anak-anak sudah gencar melaksanakan trik. Merebut hati sang pengawas, menciumi punggung tanganku sebelum akhirnya masuk ke dalam ruang pembantaian nasib mereka. Wajah-wajah di hadapanku sekarang makin tegang. Doa-doa para siswa terdengar menggema, dan bergemuruh dasyat. Aku yakin salah satu dari doa yang dipanjatkan adalah demikian:

“ Gusti, berilah kebaikan yang banyak, pahala yang berlipat ganda, rezeki yang besar bagi pengawas di depan sana. Karena beliau sudah menunggui kami dengan jeli, berbaik hati mengajari bersikap jujur, memacu kami untuk belajar sungguh-sungguh. Hingga tak ada satu pun yang saling bertanya, menyontek, yakin dengan kemampuan masing-masing. Semoga inilah cara beliau untuk menyelamatkan aqidah kami “

Aih, tapi sepertinya kok mustahil. Baik benar mereka medoakanku seperti itu. Kalaupun ada hanya sedikit. Bahkan tak ada sama sekali. Atau seperti ini:
“ Gusti, yang penting kami bisa lulus. Masa bodoh dengan pengawasnya… “
Boleh juga. Cuek. Percaya diri. Atau mungkin akan seperti ini:
“ Gusti, tega sekali Engkau hadiahkan pengawas seperti dia. Kami tak bisa menyontek, tanya teman. Aih, semoga sakit perutnya, susah hidupnya! Celaka kami! Kiamat! Kiamat! “

Ah, bagaimana jika yang terakhir itu voting terbesar ? Rasanya paling realistis. Gila, kejam sekali. Hah.. Aku melenguh panjang. Mata mereka yang tampak ketakutan seolah membenarkan pikiranku tadi. Gawat!

“ Bu, Bu Hilda ? “
Suara Pak Gino, guru ekonomi, membuyarkan lamunan.
“ Eh, eh, iya, Pak ? “
“ Sudah waktunya membagikan soal “
“ Baik, Pak “

Aku berjalan mengitari siswa. Tak ada yang berani menatap. Menunduk semua. Pak Gino hanya tersenyum. Seolah aku membawa catatan takdir, mau tak mau harus diisi dengan benar. Pengadilan antara hidup dan mati. Satu persatu soal ku letakkan di masing-masing meja. Ruangan ini hanya berisi dua puluh orang, jadi lebih cepat membagikannya. Sementara Pak Gino sendiri membagikan kertas jawaban.

Setelah selesai aku kembali lagi ke depan. Berikut Pak Gino. Kami duduk di samping meja guru. Dua kursi dijajar disana untuk para pengawas. Siswa sudah siap dengan pensil 2B ditangan. Wajah-wajah pucat makin merayap saat bunyi lonceng dari luar gontai mendera, memecah sepi. Tanda dimulainya untuk menjamah soal-soal keramat. Teeengg..

Semenit, dua menit berlalu. Tik tok tik tokk…
Barisan depan berisi empat orang anak, dan berbanjar empat anak lagi kebelakang. Mimik mereka riuh. Mencermati soal dengan gugup. Sulit ? phobia suasana? atau karena tak ada yang keluar dari contekan mereka semalam ? Keringat merembes pelan didahi-dahi dan ketiak, ditandai lipatan lengan baju osis yang basah kuyup. Sesekali menyeka dengan sapu tangan. Asal tak menimbun contekan saja didalamnya.
Ruangan menjadi sunyi senyap sekarang. Hanya bunyi langkah sepatuku yang menderap. Cahaya masuk tipis disela ventilasi. Sang Bayu meniup pelan poni-poni dan sedikit mendinginkan gelisah. Membawa oksigen lebih bersih setelah setengah jam disuguhi aroma menyengat dari keringat anak-anak itu. Aku berjalan membawa absensi siswa yang harus ditanda tangani mereka. 

Satu persatu siswa ku datangi. Menyerahkan lembaran ber-map biru, lalu mengambilnya kembali. Beralih ke siswa yang lain. Anak-anak itu tampak tegang ketika aku mendekat. Entah apa yang dipikirkan mereka. Padahal aku tak punya cakar, juga tak suka menggigit ataupun menghisap darah manusia. Mungkin saja karena alis tebalku yang bergerak-gerak kala satu dua orang dari mereka mulai melirik kekanan dan kiri. Ada-ada saja anak itu, bahkan ada yang sampai menendang-nendang kursi depannya, padahal aku sedang berdiri dibelakang mengurusi absen. Terlalu!

Satu jam lewat. Tik tok tik tokk…
Aku bangkit dari kursi dan melihat-lihat barisan depan. Ujian kali ini adalah matematika. Siswa dihadapanku tampak sibuk mencorat-coret lembar hitungan. Kertas itu sudah penuh, tapi isi dilembar jawaban masih banyak yang kosong. Kasihan juga. 

“ Tambah lembar hitungan, Mbak ? “
Tuturku menawarkan.
“ Ti.. tidak, Bu “
“ Oh, ya sudah “

Aku beralih ke meja satunya. Sudah separuh diisi jawaban. Lumayan. Pensilnya pun sungguh wangi, bahkan menusuk hidung. Begitu menyengat seperti bau dupa. Mungkin itu pemberian dukun. Biar lancar, biar jawaban benar semua. Katanya. Kenapa tak bakar sekalian kertas soalnya menjadi abu lalu diminum ?ah ada-ada saja mereka itu. Serupa dengan yang kutemui di bawah meja guru. Garam disebar. Biar ngantuk mungkin pengawasnya. Bagaimana kalau berbalik, kualat pada yang lebih tua, malah siswanya yang mengantuk ? Hah! Bisa runyam bukan. Aku kembali lagi duduk disebelah Pak Gino.


Beberapa anak yang bersiap melenggang kepala, tampak mancuri-curi kesempatan, menunggu kelengahan kami. Mereka mengawasi gerak-gerik pengawasnya. Takut kalau-kalau melihat aksi curang tersebut. Aku tertawa dalam hati. Anak-anak itu memang aneh. Siapa sebenarnya disini yang pengawas dan diawasi. Kok gerak-gerik kami malah diperhatikan seperti ini. Tak berapa lama kemudian kulihat saku celana salah satu siswa menyala terang. Aku bangkit, dan berjalan cepat kearah yang berambut ikal itu. 

“ Ponselnya mau dititipkan ke saya atau mas ambil sendiri ke dinas PdanK ? “
Wajahnya pucat seketika. Keringat dingin meluncur deras bak air terjun, keluar dari pelipisnya yang makin basah. Siswa lain sontak menoleh kearah kami. Begitu juga Pak Gino, beliau menggeleng-geleng kepala.

“ Am..ampuuun, Bu. Ampuuuuunn…” jawabnya gugup.
“ Kalau begitu serahkan ponselnya. Ambil lagi nanti di ruang kepala sekolah seusai ujian “
“ Kantor kepala sekolah, Bu ? “
“ Kenapa memangnya ? “
“ Saya takut, Bu, urusan dengan beliau “
“ Apa kamu ingin orangtuamu yang mengambilnya nanti di ruang BK ?”
“ Ti..tidak, Bu. Jangan. Iya nanti saya ambil di ruang kepala sekolah “
“ Bagus, mana ponselnya “

Si rambut ikal merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel lalu menyerahkanya padaku. Aku kembali lagi ke depan. Meletakkan ponsel itu diatas meja guru.
“ Anak sekarang canggih-canggih ya, Bu. Dulu jaman kita belum ada ponsel, tapi nyatanya bisa mengerjakan juga. Jarang ada yang tidak lulus “
Pak Gino mencoba mengajakku berbincang, meski mataku tak lepas menghujam para siswa.
“ Kemajuan teknologi yang disalah gunakan ya seperti itu, Pak. Umumnya mereka malas berpikir keras. Hanya mau enak dan mudahnya saja. Padahal hal seperti itu hanya akan menghancurkan moral mereka sendiri. “
Pak Gino manggut-manggut. 

“ Bu, coba lihat siswa pojok barat “
“ Yang mana, Pak ? “
“ Belakangnya rambut panjang sebelahnya pita biru “
Aku mengekor mata Pak Gino yang tengah mengamati anak lelaki berkacamata itu.
“ Owh dia, kenapa, Pak ? “
“ Dilihat dari mimik mukanya yang serius. Berkacamata. Agak culun. Saya yakin dia anak pintar “
“ Ah, masak sih, Pak ? “
“ Iya, lihat saja itu, Bu. Gayanya meyakinkan “
“ Tapi kok wajahnya banjir keringat begitu, Pak ? “
“ Ya, mungkin karena terlalu menghayati soal. Berpikir keras. Jadi adrenalinnya terpacu. Dengar-dengar Bapaknya mengajar juga di SMA sebelah, Bu “
“ Ya mungkin saja, Pak “
“ Kok mungkin, Bu ? saya saja yakin sembilan puluh sembilan persen “
“ Bapak ini, ikut-ikutan ndukuni
Alis pak Gino terangkat. Tak paham. Kumis hitamnya bergerak diikuti bibir yang menjorok ke depan.
“ Maksud ibu ? “
“ Lha iya, apa mau jadi peramal. Kok suka main tebak-tebakan, membaca orang “
“ Hehe, iya juga sih, Bu “
Aku mengangkat bahu. Sementara jam mendekati finish.

“ Lima menit lagi “
Ucapku menggelagar sambil melirik Alba. Tik Tok tik tokk.. Ruangan mulai berubah riuh. Pak Gino masih saja mengamati anak lelaki berkacamata yang menurutnya mirip profesor. Ada-ada saja. Hawa diruangan ini semakin pengap. Gerak siswa yang panik, bingung, dan tetes keringat mereka yang menyebar. Membungkam angin yang semula terasa sejuk, kini kembali panas.

Teeengg..!!
Lonceng dari luar menjerit. Seolah magis yang menyihir para siswa menjadi semakin ribut. Aku maklum. Waktu telah usai. Ujian Nasional Matematika lewat sudah. Aku dan Pak Gino berdiri. Siswa mengumpulkan lembar jawaban di meja masing-masing. Aku dan Pak Gino memunguti. 

“ Mohon meninggalkan kelas dengan tertib “
Kali ini Pak Gino yang berbicara. Tapi siswa sebanyak itu tak pasrah. Mereka mengomel. Mengeluh soal yang serba sulit. Hingga contekan yang tak keluar, dan walaupun keluar pun mereka juga tak dapat membuka rumus-rumus didalamnya. Yang paling banyak kudengar adalah mereka mengutuki pengawasnya. Alamak!

“ Pak, sini pak “
Aku memanggil Pak Gino kearah meja siswa yang berkacamata tadi.
“ Kenapa, Bu ? “
“ Bapak benar “
“ Benar apa ? “
“ Anak yang mirip profesor tadi cerdas “
“ Wah, tebakan saya memang jitu, Bu “
Jawab Pak Gino terkekeh.

“ Betul itu Pak, sungguh. Lihat saja, lembar jawabannya bersih kosong mlompong! “
Aku menunjuk kertas jawaban yang ada ditanganku. Yang diisi lengkap hanya kolom nama, nomor ujian, mata pelajaran, kelas, dan nama sekolah.
Pak Gino melongo.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar