Aku
berdiri sigap diantara bangku depan. Tepat saat mata jam mulai ditegakkan.
Detik-detik menjelang hajatan besar. Ini hari pertama ujian nasional SMA. Tadi,
anak-anak sudah gencar melaksanakan trik. Merebut hati sang pengawas, menciumi
punggung tanganku sebelum akhirnya masuk ke dalam ruang pembantaian nasib
mereka. Wajah-wajah di hadapanku sekarang makin tegang. Doa-doa para siswa
terdengar menggema, dan bergemuruh dasyat. Aku yakin salah satu dari doa yang
dipanjatkan adalah demikian:
“
Gusti, berilah kebaikan yang banyak, pahala yang berlipat ganda, rezeki yang besar
bagi pengawas di depan sana.
Karena beliau sudah menunggui kami dengan jeli, berbaik hati mengajari bersikap
jujur, memacu kami untuk belajar sungguh-sungguh. Hingga tak ada satu pun yang
saling bertanya, menyontek, yakin dengan kemampuan masing-masing. Semoga inilah
cara beliau untuk menyelamatkan aqidah kami “
Aih,
tapi sepertinya kok mustahil. Baik benar mereka medoakanku seperti itu.
Kalaupun ada hanya sedikit. Bahkan tak ada sama sekali. Atau seperti ini:
“
Gusti, yang penting kami bisa lulus. Masa bodoh dengan pengawasnya… “
Boleh juga. Cuek.
Percaya diri. Atau mungkin akan seperti ini:
“
Gusti, tega sekali Engkau hadiahkan pengawas seperti dia. Kami tak bisa menyontek,
tanya teman. Aih, semoga sakit perutnya, susah hidupnya! Celaka kami! Kiamat!
Kiamat! “
Ah,
bagaimana jika yang terakhir itu voting terbesar ? Rasanya paling realistis.
Gila, kejam sekali. Hah.. Aku melenguh panjang. Mata mereka yang tampak
ketakutan seolah membenarkan pikiranku tadi. Gawat!
“
Bu, Bu Hilda ? “
Suara
Pak Gino, guru ekonomi, membuyarkan lamunan.
“
Eh, eh, iya, Pak ? “
“
Sudah waktunya membagikan soal “
“
Baik, Pak “
Aku
berjalan mengitari siswa. Tak ada yang berani menatap. Menunduk semua. Pak Gino
hanya tersenyum. Seolah aku membawa catatan takdir, mau tak mau harus diisi
dengan benar. Pengadilan antara hidup dan mati. Satu persatu soal ku letakkan
di masing-masing meja. Ruangan ini hanya berisi dua puluh orang, jadi lebih
cepat membagikannya. Sementara Pak Gino sendiri membagikan kertas jawaban.
Setelah
selesai aku kembali lagi ke depan. Berikut Pak Gino. Kami duduk di samping meja
guru. Dua kursi dijajar disana untuk para pengawas. Siswa sudah siap dengan
pensil 2B ditangan. Wajah-wajah pucat makin merayap saat bunyi lonceng dari
luar gontai mendera, memecah sepi. Tanda dimulainya untuk menjamah soal-soal
keramat. Teeengg..
Semenit,
dua menit berlalu. Tik tok tik tokk…
Barisan
depan berisi empat orang anak, dan berbanjar empat anak lagi kebelakang. Mimik
mereka riuh. Mencermati soal dengan gugup. Sulit ? phobia suasana? atau karena
tak ada yang keluar dari contekan mereka semalam ? Keringat merembes pelan
didahi-dahi dan ketiak, ditandai lipatan lengan baju osis yang basah kuyup. Sesekali
menyeka dengan sapu tangan. Asal tak menimbun contekan saja didalamnya.
Ruangan
menjadi sunyi senyap sekarang. Hanya bunyi langkah sepatuku yang menderap.
Cahaya masuk tipis disela ventilasi. Sang Bayu meniup pelan poni-poni dan
sedikit mendinginkan gelisah. Membawa oksigen lebih bersih setelah setengah jam
disuguhi aroma menyengat dari keringat anak-anak itu. Aku berjalan membawa
absensi siswa yang harus ditanda tangani mereka.
Satu
persatu siswa ku datangi. Menyerahkan lembaran ber-map biru, lalu mengambilnya
kembali. Beralih ke siswa yang lain. Anak-anak itu tampak tegang ketika aku
mendekat. Entah apa yang dipikirkan mereka. Padahal aku tak punya cakar, juga
tak suka menggigit ataupun menghisap darah manusia. Mungkin saja karena alis
tebalku yang bergerak-gerak kala satu dua orang dari mereka mulai melirik
kekanan dan kiri. Ada-ada saja anak itu, bahkan ada yang sampai
menendang-nendang kursi depannya, padahal aku sedang berdiri dibelakang mengurusi
absen. Terlalu!
Satu
jam lewat. Tik tok tik tokk…
Aku
bangkit dari kursi dan melihat-lihat barisan depan. Ujian kali ini adalah
matematika. Siswa dihadapanku tampak sibuk mencorat-coret lembar hitungan.
Kertas itu sudah penuh, tapi isi dilembar jawaban masih banyak yang kosong.
Kasihan juga.
“
Tambah lembar hitungan, Mbak ? “
Tuturku
menawarkan.
“
Ti.. tidak, Bu “
“
Oh, ya sudah “
Aku
beralih ke meja satunya. Sudah separuh diisi jawaban. Lumayan. Pensilnya pun sungguh
wangi, bahkan menusuk hidung. Begitu menyengat seperti bau dupa. Mungkin itu
pemberian dukun. Biar lancar, biar jawaban benar semua. Katanya. Kenapa tak
bakar sekalian kertas soalnya menjadi abu lalu diminum ?ah ada-ada saja mereka
itu. Serupa dengan yang kutemui di bawah meja guru. Garam disebar. Biar ngantuk
mungkin pengawasnya. Bagaimana kalau berbalik, kualat pada yang lebih tua,
malah siswanya yang mengantuk ? Hah! Bisa runyam bukan. Aku kembali lagi duduk
disebelah Pak Gino.
Beberapa
anak yang bersiap melenggang kepala, tampak mancuri-curi kesempatan, menunggu kelengahan
kami. Mereka mengawasi gerak-gerik pengawasnya. Takut kalau-kalau melihat aksi
curang tersebut. Aku tertawa dalam hati. Anak-anak itu memang aneh. Siapa
sebenarnya disini yang pengawas dan diawasi. Kok gerak-gerik kami malah diperhatikan
seperti ini. Tak berapa lama kemudian kulihat saku celana salah satu siswa menyala
terang. Aku bangkit, dan berjalan cepat kearah yang berambut ikal itu.
“
Ponselnya mau dititipkan ke saya atau mas ambil sendiri ke dinas PdanK ? “
Wajahnya
pucat seketika. Keringat dingin meluncur deras bak air terjun, keluar dari
pelipisnya yang makin basah. Siswa lain sontak menoleh kearah kami. Begitu juga
Pak Gino, beliau menggeleng-geleng kepala.
“
Am..ampuuun, Bu. Ampuuuuunn…” jawabnya gugup.
“ Kalau begitu serahkan ponselnya. Ambil lagi nanti di
ruang kepala sekolah seusai ujian “
“
Kantor kepala sekolah, Bu ? “
“
Kenapa memangnya ? “
“
Saya takut, Bu, urusan dengan beliau “
“
Apa kamu ingin orangtuamu yang mengambilnya nanti di ruang BK ?”
“
Ti..tidak, Bu. Jangan. Iya nanti saya ambil di ruang kepala sekolah “
“
Bagus, mana ponselnya “
Si
rambut ikal merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel lalu menyerahkanya
padaku. Aku kembali lagi ke depan. Meletakkan ponsel itu diatas meja guru.
“
Anak sekarang canggih-canggih ya, Bu. Dulu jaman kita belum ada ponsel, tapi
nyatanya bisa mengerjakan juga. Jarang ada yang tidak lulus “
Pak Gino mencoba
mengajakku berbincang, meski mataku tak lepas menghujam para siswa.
“
Kemajuan teknologi yang disalah gunakan ya seperti itu, Pak. Umumnya mereka
malas berpikir keras. Hanya mau enak dan mudahnya saja. Padahal hal seperti itu
hanya akan menghancurkan moral mereka sendiri. “
Pak
Gino manggut-manggut.
“
Bu, coba lihat siswa pojok barat “
“
Yang mana, Pak ? “
“
Belakangnya rambut panjang sebelahnya pita biru “
Aku mengekor
mata Pak Gino yang tengah mengamati anak lelaki berkacamata itu.
“
Owh dia, kenapa, Pak ? “
“ Dilihat dari mimik mukanya yang serius. Berkacamata.
Agak culun. Saya yakin dia anak pintar “
“
Ah, masak sih, Pak ? “
“
Iya, lihat saja itu, Bu. Gayanya meyakinkan “
“
Tapi kok wajahnya banjir keringat begitu, Pak ? “
“
Ya, mungkin karena terlalu menghayati soal. Berpikir keras. Jadi adrenalinnya
terpacu. Dengar-dengar Bapaknya mengajar juga di SMA sebelah, Bu “
“
Ya mungkin saja, Pak “
“
Kok mungkin, Bu ? saya saja yakin sembilan puluh sembilan persen “
“
Bapak ini, ikut-ikutan ndukuni “
Alis
pak Gino terangkat. Tak paham. Kumis hitamnya bergerak diikuti bibir yang
menjorok ke depan.
“
Maksud ibu ? “
“
Lha iya, apa mau jadi peramal. Kok suka main tebak-tebakan, membaca orang “
“
Hehe, iya juga sih, Bu “
Aku
mengangkat bahu. Sementara jam mendekati finish.
“
Lima menit lagi
“
Ucapku
menggelagar sambil melirik Alba. Tik Tok tik tokk.. Ruangan mulai berubah riuh.
Pak Gino masih saja mengamati anak lelaki berkacamata yang menurutnya mirip
profesor. Ada-ada saja. Hawa diruangan ini semakin pengap. Gerak siswa yang
panik, bingung, dan tetes keringat mereka yang menyebar. Membungkam angin yang
semula terasa sejuk, kini kembali panas.
Teeengg..!!
Lonceng
dari luar menjerit. Seolah magis yang menyihir para siswa menjadi semakin
ribut. Aku maklum. Waktu telah usai. Ujian Nasional Matematika lewat sudah. Aku
dan Pak Gino berdiri. Siswa mengumpulkan lembar jawaban di meja masing-masing.
Aku dan Pak Gino memunguti.
“
Mohon meninggalkan kelas dengan tertib “
Kali
ini Pak Gino yang berbicara. Tapi siswa sebanyak itu tak pasrah. Mereka mengomel.
Mengeluh soal yang serba sulit. Hingga contekan yang tak keluar, dan walaupun
keluar pun mereka juga tak dapat membuka rumus-rumus didalamnya. Yang paling banyak
kudengar adalah mereka mengutuki pengawasnya. Alamak!
“
Pak, sini pak “
Aku memanggil
Pak Gino kearah meja siswa yang berkacamata tadi.
“
Kenapa, Bu ? “
“
Bapak benar “
“
Benar apa ? “
“
Anak yang mirip profesor tadi cerdas “
“
Wah, tebakan saya memang jitu, Bu “
Jawab Pak Gino
terkekeh.
“
Betul itu Pak, sungguh. Lihat saja, lembar jawabannya bersih kosong mlompong! “
Aku
menunjuk kertas jawaban yang ada ditanganku. Yang diisi lengkap hanya kolom
nama, nomor ujian, mata pelajaran, kelas, dan nama sekolah.
Pak
Gino melongo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar